Relasi antara organisme
dengan lingkungannya sebagai suatu kesatuan yang dinamis bertolak dari
organisme yang aktif. Organisme tidak terpisah dari lingkungannya dan juga
tidak semacam penerima yang reaktif. Relasi antara organisme dengan
lingkungannya lebih bersifat interaksi timbal balik. Interaksi di sini berarti
bagaimana organisme bergaul dengan lingkungannya dan bagaimana strukturstruktur
mental yang lama diperluas dan diperbaharui berdasarkan pengaruh lingkungan
itu. Setiap perkembangan merupakan pengaruh timbal balik antara organisme dan
lingkungannya. Dalam interaksi ini, organisme bersifat sangat aktif.
Konstruksi dan aktivitas
merupakan perwujudan proses pengaturan diri tak sadar dari organisme yang
sedang mencari keseimbangan dengan menciptakan susunan-susunan kognitif secara
spontan (Piaget, 1988 : 60). Anak akan berusaha menafsirkan pengalaman yang
baru dari lingkungan sehari-harinya. Pengalaman tersebut digunakan sebagai
kerangka untuk menempatkan pengalaman yang baru. Anak akan melihat
pengalaman–pengalaman yang baru dari perspektif pengalaman lama agar pengalaman
yang baru dapat dipahaminya.
Miskonsepsi akan muncul
bila interpretasinya bertentangan dengan konsepsi ilmiah (Wilarjo 1998: 60).
Dalam mengubah miskonsepsi siswa menuju konsepsi ilmiah diperlukan strategi
pengubahan konsepl (conceptual change) yang tepat dan diberikan pada saat yang tepat pula.
Pengubahan konsepsi dapat dilakukan dengan menyajikan konflik kognitif (cognitive conflict). Hal ini dilakukan secara hati-hati jangan sampai
konflik kognitif yang disampaikan justru akan memperkuat stabilitas miskonsepsi
siswa. Konflik kognitif yang disajikan dalam proses pembelajaran harus mampu
menggoyahkan stabilitas miskonsepsi siswa. Jika siswa sudah menjadi ragu
terhadap kebenaran gagasannya, maka dapat diharapkan mereka akan mau
merekonstruksi gagasan atau konsepsinya sehingga pada akhir proses pembelajaran
di kepala siswa hanya terdapat sains guru yang berupa pengetahuan ilmiah
(Sadia, 1997: 12).
Konflik kognitif
dilakukan bila siswa telah mengalami keraguan atas hipotesis awal yang
disusunnya karena bertentangan dengan fakta yang ada. Siswa menjadi tidak puas
dan ragu atas konsepsi yang dimilikinya. Konflik kognitif ini harus
ditindaklanjuti dengan memberikan dorongan dan tutunan agar mereka menemukan
sendiri konsepsi ilmiah tersebut. Konsepsi ilmiah ini memiliki konsistensi
internal tinggi yang dicirikan dengan keratahannya (simplicity),
kehematan, kegunaan dan keapikan (elegance)nya (Wilarjo, 1998 :
64).
Model konstruktivis
memunculkan pertanyaan penting. Bila individu-individu membangun pengetahuan mereka sendiri, bagaiamana
suatu kelompok individu dapat tampil untuk saling tukar pikiran? Kunci untuk menjawab pertanyaan ini adalah dengan
mengingat bahwa pengetahuan harus cocok dengan realitas. Konstruksi adalah
suatu proses dimana pengetahuan dibangun dan diuji secara kontinu. Individu
tidak hanya mengkonstruksi pengetahuan, namun pengetahuan mereka juga harus
bekerja dan berfungsi secara aktif ( Bodner, 1986 : 9 ).
Konstruktivisme
Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar
individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses
dalam kognisi diarahkan melalui adaptasi intelektual dalam konteks sosial
budaya. Proses penyesuaian itu equivalen dengan pengkonstruksian pengetahuan
secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam
hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan
teknik saling tukar gagasan antar individual (Sheffer, 1996 : 274 - 275).
Dua prinsip penting yang
diturunkan dari teori Vygotsky adalah : (1)mengenai fungsi dan pentingnya
bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar
menukar informasi dan pengetahuan, (2) zone
of proximal development. Guru sebagai mediator
memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan,
pengertian dan kompetensi (Dixon-Kraus, 1996 : 8).
Sumbangan penting teori
Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiokultural. Inti teori
Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari
pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut
teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial
masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa
pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum
dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau
tugas-tugas itu berada dalam zone of proximal
development mereka. Zone
of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai
kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial
yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu
(Shaffer,
1996 : 274 - 275).
Teori Vygotsky yang lain
adalah scaffolding.
Scaffolding berarti memberikan
kepada seorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran
dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak
tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu
mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang
memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori
pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa
mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan
bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding berarti
upaya guru untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai suatu keberhasilan.
Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih
tinggi menjadi optimum (Vygotsky, 1978 :5).
Pengetahuan dan
pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan
aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog
antar pribadi. Dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman
fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain.
Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai
tujuan belajar yang diinginkan oleh semua siswa ( Johnson dan Johnson, 2000
: 2 ). Pengelolaan kelas
menurut cooperative learning bertujuan untuk membantu siswa untuk mengembangkan niat
dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengan siswa yang lain. Ada tiga hal
penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu : pengelompokan,
semangat kooperatif dan penataan kelas (Lie, 2002 : 38).
Piaget dan Vygotsky pada
prinsipnya memiliki beberapa perbedaan karakteristik. Piaget menyatakan proses
pembelajaran bersifat internal sedangkan Vygotsky menyatakan bersifat external.
Menurut Piaget, proses pendewasaan dalam diri menjadi faktor utama yang
mempengaruhi proses pembelajaran siswa sedangkan Vygotsky lebih mengutamakan
faktor dunia luar. Vygotsky menyatakan pengetahuan dibangun siswa dalam konteks
budaya dan atas dasar interaksinya dengan teman sebaya atau faktor eksternal
yang lain. Vygotsky menyatakan bahwa konsep tidak bisa dibangun tanpa melakukan
suatu interaksi sosial (Howe, 1996 : 42). Suatu model pembelajaran
konstruktivis dapat berpijak dari dua teori tersebut. Harlen (1992 : 51)
mengembangkan model konstruktivis dalam pembelajaran di kelas. Pengembangan model
konstruktivis tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.
- Orientasi dan Elicitasi Ide. Merupakan proses untuk memotivasi
siswa dalam mengawali proses pembelajaran. Melalui elicitasi siswa mengungkapkan idenya dengan berbagai cara.
- Restrukturisasi ide. Meliputi beberapa tahap yaitu
klarifikasi terhadap ide, merombak ide dengan melakukan konflik terhadap
situasi yang berlawanan, dan mengkonstruksi dan mengevaluasi ide yang
baru.
- Aplikasi. Menerapkan ide yang telah dipelajari.
- Review. Mengadakan tinjauan terhadap perubahan ide tersebut.
Tahapan - tahapan dalam
pengembangan model belajar konstruktivis dengan lebih rinci diimplementasikan
oleh Sadia (1996 : 87) dalam upayanya menguji efektivitas pengembangan model
pembelajaran konstruktivis di SLTP. Secara signifikan model yang telah
dikembangkan ini mampu meningkatkan prestasi belajar fisika siswa.
Tahapan-tahapan pengembangan model konstruktivis tersebut mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut.
- Identifikasi tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi
arah dalam merancang program, implementasi program dan evaluasi.
- Menetapkan Isi Produk Belajar. Pada tahap ini, ditetapkan konsep-konsep
dan prinsip-prinsip IPA yang mana yang harus dikuasai siswa.
- Identifikasi dan Klarifikasi
Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi
pengetahuan awal siswa dilakukan melalui tes awal, interview klinis dan
peta konsep.
- Identifikasi dan Klarifikasi
Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal
siswa yang telah diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih
lanjut untuk menetapkan mana diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi
ilmiah, mana yang salah dan mana yang miskonsepsi.
- Perencanaan Program Pembelajaran dan
Strategi Pengubahan Konsep. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
Sedangkan strategi pengubahan konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk
modul.
- Implementasi Program Pembelajaran dan
Strategi Pengubahan Konsepsi. Tahapan ini merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas. Tahapan ini
terdiri dari tiga langkah yaitu : (a) orientasi dan penyajian pengalaman
belajar,(b)menggali ide-ide siswa, (c) restrukturisasi ide-ide.
- Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program
pembelajaran, maka dilakukan evaluasi terhadap efektivitas model belajar
yang telah diterapkan.
- Klarifikasi dan analisis miskonsepsi
siswa yang resisten. Berdasarkan hasil
evaluasi perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan analisis
terhadap miskonsepsi siswa, baik yang dapat diubah secara tuntas maupun
yang resisten.
- Revisi strategi pengubahan miskonsepsi.
Hasil analisis
miskonsepsi yang resisten digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi
strategi pengubahan konsepsi siswa dalam bentuk modul.
Model belajar konstruktivis yang
dikembangkan dalam penelitian ini berpijak pada teori konstruktivis Piaget dan
Vygotsky. Tahapan-tahapan terhadap penerapan model pembelajaran konstruktivis
dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari dua model konstruktivis yang telah
dikemukakan yaitu model konstruktivis Harlen (1992:51) dan Sadia (1996:87).
Tahapan-tahapan pengembangan model konstruktivis ini sangat memperhatikan prior
knowledge dan
miskonsepsi-miskonsepsi yang terdapat pada diri siswa, yang menempati posisi
yang sentral baik dalam menyusun maupun implementasi program pembelajaran.
Tahapan-tahapan
penerapan model konstruktivis dalam penelitian ini mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut.
- Identifikasi awal terhadap prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal
terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki dalam mencandra lingkungannya
dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya
miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini
dilakukan dengan tes awal, interview klinis dan peta konsep.
- Penyusunan Program Pembelajaran dan
Strategi Pengubahan Miskonsepsi. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk Satuan Pelajaran.
Sedangkan strategi pengubahan miskonsepsi diwujudkan dalam bentuk modul
kecil yang terdiri dari uraian materi yang memuat konsepkonsep esensial
yang mengacu pada konsepsi awal siswa yang telah dijaring sebelum pembelajaran
dilaksanakan. Dengan berpedoman pada pra konsepsi ini, siswa diharapkan
merasa lebih mudah dalam mereduksi miskonsepsinya menuju konsepsi ilmiah.
- Orientasi dan Elicitasi. Situasi pembelajaran yang kondusif dan
mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk
membangkitkan minat mereka terhadap topik yang akan dibahas. Siswa
dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin
tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari.
Pengungkapan gagasan tersebut dapat melalui diskusi, menulis, ilustrasi
gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan
bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar
siswa tidak khawatir dicemoohkan dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya
salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan
gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui
penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
- Refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan
yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elcitasi
direfleksikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal.
Miskonsepsi ini diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesalahan dan
kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasinya.
- Restrukturisasi Ide.
a. Tantangan.
Siswa diberikan pertanyaan-pertanyaaan tentang gejala-gejala yang kemudian
dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk
meramalkan hasil percobaan dan memberikan alasan untuk mendukung ramalannya
itu.
b. Konflik Kognitif dan Diskusi Kelas. Siswa akan dapat melihat sendiri apakah ramalan mereka
benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan
percobaan di laboratorium. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami
konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka
didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan
sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan
ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru
yang pada kapasitasnya sebagai fasilitator dan mediator.
c. Membangun Ulang Kerangka Konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa
konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa
konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
- Aplikasi. Meyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi
dari miskonsepsi menuju konsepi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan
konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan
masalah yang instruktif dan kemudian menguji penyelesaiaanya secara
empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi
mereka dengan penjelasan secara keilmuwan.
- Review. Review dilakukan untuk meninjau
keberhasilan strategi pembelajaran yang
telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal
pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila
miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangat resisten. Hal ini penting
dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya
menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada
kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.