Kecerdasan
merupakan anugerah besar yang kita peroleh dari Tuhan. Dengan kecerdasannya,
manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang
semakin kompleks, melalui proses berpikir dan belajar secara terus menerus.
Setiap anak terlahir dengan kecerdasan majemuk, mereka berpotensi untuk menjadi
jenius. Hanya saja tidak semua kecerdasan majemuk yang dimiliki anak dapat
berkembang secara maksimal pada diri anak tersebut. Hal inilah yang kadang
menjadi ciri khas dari setiap individu, diman kita dapat mengenali seseorang
hanya dengan menyebutkan salah satu kecerdasan yang menonjol pada
kepribadiannya. Contohnya, kita dapat mengenal Einstein sebagai seorang yang
ahli dibidang Fisika yang berarti kecerdasan Logis- Matematisnya menonjol. Untuk
dapat menggali dan mengasah kecerdasan majemuk yang menonjol dalam diri siswa,
guru juga mempunyai peranan yang cukup penting. Kecerdasan merupakan salah satu
faktor utama yang menentukan sukses dan gagalnya Peserta Didik belajar di
sekolah. Peserta Didik mempunyai taraf kecerdasan rendah atau di bawah normal
sukar untuk diharapkan memperoleh prestasi yang tinggi. Tetapi tidak ada
jaminan bahwa dengan taraf kecerdasan tinggi seseorang secara otomatis dia
akan sukses belajar di sekolah.
Tugas kita sebagai guru sekaligus orang tua pada saat di sekolah adalah
untuk menemukan, menggali, mengasah dan mengembangkan kecerdasan majemuk yang
dimiliki oleh peserta didik.
Sudah cukup
lama dalam dunia
psikologi dan pendidikan
para ahli mengukur tingkat
kecerdasan manusia dari
segi kemampuan atau kecerdasan Intelektual (Intellegence
Quotient/IQ). Akan tetapi kenyataan dewasa
ini banyak orang
cerdas dalam arti
IQ-nya tinggi, akan
tetapi tidak cerdas dalam bertingkah laku. Contohnya saja para anggota
dewan yang mempunyai titel panjang
tetapi bertingkah laku tidak mencerminkan seseorang yang berpendidikan tinggi
dengan berperilaku tidak sopan pada saat rapat. Banyak orang pintar, hidup
dengan kekayaan yang berlimpah akan tetapi
mengapa mereka merasa hampa dalam kehidupan? Mengapa banyak
sarjana yang terdidik
tetapi masih menganggur? Mengapa
banyak pelajar yang tawuran? Lantas pertanyaan muncul: Mengapa terjadi hal-hal
seperti itu? Banyak usaha-usaha yang
dilakukan untuk mencari
dan menemukan serta menjawab persoalan-persoalan di atas. Salah satu hal
yang yang berkembang
dewasa ini adalah
ternyata kesuksesan
seseorang dalam hidup
tidak cukup hanya
ditentukan oleh kecerdasan intelektual saja.
Atau dengan kata
lain orang yang
cerdas secara intelektual belum
menjaminnya untuk dapat menghadapi segala tantang dan persoalan serta dinamika
kehidupan yang sangat kompleks.
Harus diakui
bahwa banyak bahasa
di banyak budaya tidak
mempunyai kata yang sesuai
untuk istilah kecerdasan. Dengan sendirinya definisi-definsi kecerdasan
lebih merupakan refleksi
nilai-nilai budaya masyarakat
yang bersangkutan. Mengutip makalah milik Muhammad Idrus dengan judul “ Kecerdasan dan Budaya”,
kecerdasan di definisikan dengan beragam tergantung dari negara dan budaya
masing- masing. Bagi orang Cina kecerdasan itu ditandainya ciri-ciri seperti
peniruan, usaha, dan tanggung jawab sosial (Keats, 1982). Tentu
saja bagi budaya
Amerika, sifat-sifat itu
bukan merupakan unsur
penting kecerdasan. Masyarakat
Afrika Timur (suku
Baganda), menggunakan kata
Obugezi untuk menunjukkan
kombinasi dari keahlian-keahlian mental
dan sosial yang membuat seseorang menjadi lebih
tegar, berhati-hati, dan
bersahabat (Wober, 1974).
Suku Djerma-Songhai di Afrika Barat, menggunakan sebuah kata yang
mempunyai arti yang bahkan lebih luas, yaitu kata “akkal” yang berarti kombinasi dari
kecerdasan, pengetahuan teknis dan keahlian sosial (Bisilliat, Laya, dan Pidoux, 1967). Guilford (1985)
juga mengajukan teori
faktor, dia menggunakan 3 dimensi untuk menjelaskan kecerdasan,
yaitu dimensi operasional,
dimensi isi dan dimensi produk/hasil. Ketiga dimensi ini
saling terpisah. Selanjutnya dengan
mengkombinasikan ke-tiga dimensi
ini, Guilford menyatakan bahwa sesungguhnya kecerdasan itu disusun lebih dari 150 faktor terpisah.
Alfred Binet (Sternberg,
1996) mengajukan tiga
aspek kecerdasan yang disebutnya direction, adaptation,
criticism. Direction merujuk
pada apa yang harus dilakukan dan
bagaimana cara melakukannya, adaptation merupakan kemampuan menggunakan
stategi dalam menyelesaikan satu
tugas, dan tetap menggunakan strategi
tersebut tatkala
dilakukannya implementasi sambil
melakukan adaptasi, sedangkan criticism merujuk
pada kemampuan untuk mengkritisi hasil pemikiran dan tindakan diri
sendiri. Sternberg sendiri mengajukan teori kecerdasan yang berdasarkan pada 3
sub teori yang saling terpisah yang disebutnya sebagai kecerdasan kontekstual,
kecerdasan eksperiental, dan kecerdasan
komponensial. Kecerdasan kontekstual
adalah kemampuan individu
untuk mengadaptasi terhadap lingkungan. Kecerdasan eksperiental
merupakan kemampuan untuk
memformulasikan ide-ide baru dan
mengkombinasi fakta-fakta yang tidak saling berhubungan sedangkan kecerdasan komponensial adalah
kemampuan berpikir abstrak
dalam memproses informasi
dan menentukan kebutuhan yang harus dilakukannya.
Pada
tahun 1904, di Paris Prancis diresahkan dengan prosentase kegagalan hasil ujian
negara siswa yang cukup signifikan. Keadaan ini memicu pemerintah Prancis untuk
melakukan upaya antisipasi tingkat kegagalan hasil ujian negara siswa diusia
dini. Salah satu upayanya adalah dengan melakukan serangkaian tes yang dapat
mengukur kecerdasan siswa. Tes tersebut berupa serangkaian tes yang hasilnya
berupa skor yang kemudian dikenal sebagai Tes IQ (Amstrong, 2013). Pada banyak
negara, tes kecerdasan (tes IQ) menentukan mungkin tidaknya seseorang memasuki
dunia pendidikan tinggi, atau dunia kerja. Namun belakangan, tes IQ ini
mendapat kritik yang cukup
tajam, terlebih dari
hasil penelitian yang
dikemukakan oleh Daniel Goleman yang menyatakan bahwa IQ
bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan seseorang dalam kehidupannya,
bahkan secara fantastik
Goleman menyebut bahwa
kecerdasan hanya menentukan 20
% dalam keberhasilan seseorang,
sedangkan sisanya 80 % ditentukan
oleh kelas dalam kehidupan, kecerdasan emosi, dan lain-lain. Kritik
tajam ini jelas mengharuskan kalangan psikolog untuk secara cermat kembali
mengevaluasi tentang alat tes IQ tersebut (Matsumoto, 1996).
Pendidikan
erat kaitannya dengan pembelajaran yang merupakan proses komunikasi dua arah
antara guru dengan peserta didik. Salah satu faktor suksesnya pembelajaran di
kelas adalah kesiapan guru mengenal karakteristik peserta didiknya. Guru atau
pendidik seharusnya mempertimbangkan kecerdasan dan gaya belajar peserta didik
dalam pembelajaran (Denig, 2004). Gaya belajar adalah kunci utama untuk
mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik. Setiap peserta didik memiliki
gaya belajar tersendiri (Denig, 2004). Oleh karena itu, pendidik hendaknya
bervariasi dalam mengajar untuk mengakomodasi gaya belajar peserta didik yang
berbeda. Gaya belajar merupakan cara seseorang untuk memperoleh dan memelihara
kecerdasan mereka (Bowles, 2008). Gardner mengelompokkan tujuh kecerdasan yang
dimiliki oleh seseorang yaitu kecerdasan verbal-linguistik, matematis-logis,
visual-spasial, kinestetik-jasmani, musikal-ritmik, interpersonal,
intrapersonal. Pada tahun 1997, Gardner menambahkan kecerdasan ke delapan yaitu
kecerdasan naturalis, dan dua tahun kemudian kecerdasan ke sembilan yaitu
kecerdasan eksistensialis (Ibnian & Hadban, 2013).
Oleh
karena itu penting bagi kita sebagai guru untuk mengetahui secara menyeluruh
apa itu kecerdasan majemuk, apasaja yang menjadi faktor yang mempengaruhi
kecerdasan, serta bagaimana strategi kita sebagai guru untuk memaksimalkan
pembelajaran bagi siswa dengan kecerdasan majemuk sekaligus bagaimana cara
mengases atau mengevaluasi peserta didik dikaitkan dengan teori kecerdasan
majemuk. Maka dalam makalah ini kami akan membahas tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan kecerdasan majemuk khususnya strategi pembelajaran dan cara
mengevaluasinya.
Kecerdasan
2015-07-27T07:13:00-07:00
Unknown
kajian|pendidikan|
Entri Populer
-
A. Perpindahan Kalor dengan cara Konduksi Ketika salah satu bagian logam bersentuhan dengan nyala lilin atau nyala api, secara otomati...
-
Hukum Dulong petit menyatakan bahwa, “ Kalor jenis dari zat-zat padat adalah 6kalori/g ramm olekul .” Pada awal abad ke-19, dua ilmuwan ...
-
REKRUITMEN PENDAMPING DAN OPERATOR PKH 2015 PENGUMUMAN NOMOR : 910/LJS.JS.SV/07/2015 REKRUTMEN PENDAMPING DAN OPERATOR PROGRA...
joint now
Labels
administrasi kerja
Alat Praktek
ATM berjalan
banjir uang
berita
biografi dbye
biografi dulong
biografi petit
BISNIS
bisnis online
bisnis online populer
bisnis online terbaru
Blog
Bruno Mars
BUKU BSE
Buku Fisika Gratis
buku UNIVERSITAS
Cari Tahu
Ceramah Pengajian
Ceramah Pengajian Kh. Anwar Zahid Lengkap
CN BLUE
daun sirih
David Guetta
debye
destilasi
Download Mp3
fisika
herbal
Hoki
HUKUM DULONG dan PETIT
HUKUM TERMIDINAMIKA II
HUKUM TERMODINAMIKA
II. KAPASITAS PANAS
Indikator pencapaian
internet
islam
jaringan
judika
K13
kajian
Karya tu;is
Kata Hati
Kerispatih
Kh. Anwar Zahid
Komputer
Laboratorium
LAGU INDO
LAGU LUAR NEGERI
lamaran kerja
Linkin Park
lks
lowongan
LOWONGAN PKH 2016
Management Lab
Maroon 5
Masa depan
materi
media video
Model Pembelajaran
motivasi
MP3 GRATIS
multimedia
Muse
music Rock
NOAH BAND
pendidikan
penerapan
PKH 2016
powerfull200
sakit mata
SHEILA ON 7
Simulasi
Skripsi
soal-soal
software
tarbiyah
teknologi
Tradisional
Tujuan Pembelajaran
uang gratis
ungu
Universitas Dehasen
wifi